Kalau ada satu hari dalam setahun yang bikin aku mellow tapi sekaligus bahagia, itu adalah Hari Puisi Nasional.
Setiap 28 April, aku merasa kayak balik ke masa-masa di mana satu bait puisi bisa membuat dunia terasa lebih bermakna.
Entah kenapa, Hari Puisi Nasional itu kayak jendela kecil menuju sesuatu yang lebih dalam — lebih jujur — lebih manusiawi.
Dan serius, di dunia yang makin cepat dan sibuk ini, puisi rasanya jadi satu dari sedikit hal yang mengajak kita berhenti sejenak… untuk benar-benar merasa.
Awal Mula: Jatuh Cinta pada Puisi
Page Contents
- 1 Awal Mula: Jatuh Cinta pada Puisi
- 1.1 Puisi Itu Bukan Cuma Kumpulan Kata
- 1.2 Hari Puisi Nasional: Lebih dari Sekadar Seremoni
- 1.3 Tantangan: Puisi dan Dunia Modern
- 1.4 Momen Paling Berkesan: Membaca Puisi di Acara Komunitas
- 1.5 Tips Memulai Membaca dan Menulis Puisi (Kalau Kamu Mau Coba)
- 1.6 Puisi Favoritku Sepanjang Masa
- 1.7 Refleksi di Hari Puisi Nasional: Kata-Kata Masih Berkuasa
- 1.8 Penutup: Mari Kita Rayakan Hari Puisi Nasional dengan Hati Terbuka
- 2 Author
Aku masih ingat jelas pertama kali nulis Hari Puisi Nasional.
Waktu itu aku lagi duduk di bangku SMP.
Guru Bahasa Indonesia kasih tugas: bikin puisi bertema “Ibu”.
Awalnya aku ngerasa tugas ini basi banget.
Tapi pas mulai nulis… eh, kok malah nangis sendiri.
Nggak tahu kenapa, lewat Hari Puisi Nasional, kata-kata yang biasanya susah keluar dari mulut, malah mengalir lancar.
Sejak hari itu, aku jatuh cinta sama Hari Puisi Nasional.
Bukan cuma buat tugas sekolah, tapi buat diriku sendiri.
Setiap kali hati penuh — marah, sedih, jatuh cinta, bingung — aku selalu balik ke puisi.
Puisi Itu Bukan Cuma Kumpulan Kata
Dulu aku kira Hari Puisi Nasional itu ya cuma soal rima, tentang aturan jumlah suku kata, metafora indah.
Tapi makin banyak aku baca karya-karya kayak Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra, aku sadar…
Puisi itu tentang kejujuran.
Chairil Anwar bilang dalam “Aku”:
“Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang.”
Kalimat sederhana, tapi nusuk sampai ke tulang.
Puisi itu kayak suara hati yang ditulis tanpa filter.
Kadang aneh, kadang gila, kadang nggak masuk akal… tapi justru di situlah kekuatannya.
Puisi nggak perlu sempurna untuk jadi berharga.
Dan itu jadi salah satu pelajaran hidup yang aku bawa sampai hari ini.
Hari Puisi Nasional: Lebih dari Sekadar Seremoni
Setiap tanggal 28 April, kita memperingati Hari Puisi Nasional untuk mengenang hari wafatnya Chairil Anwar — si penyair legendaris yang mengubah wajah Hari Puisi Nasional Indonesia.
Tapi jujur, buat aku, Hari Puisi Nasional lebih dari sekadar seremoni.
Ini kayak pengingat tahunan untuk:
-
Memberi ruang buat perasaan yang sering kita tekan
-
Menghargai kekuatan kata-kata sederhana
-
Merayakan keindahan yang lahir dari ketidaksempurnaan
Setiap Hari Puisi Nasional, aku punya ritual kecil:
Buka buku-buku puisi lama, baca ulang beberapa bait favorit, dan biasanya… aku pasti nulis satu puisi baru.
Biar jelek, biar cheesy, yang penting mengalir.
Tantangan: Puisi dan Dunia Modern
Nggak bisa dipungkiri, di era sekarang, puisi sering dianggap “kurang relevan.”
Orang lebih suka scroll video 15 detik ketimbang baca 3 bait sajak.
Aku juga sempat merasa kayak, “Ah, siapa sih yang peduli sama puisi hari gini?”
Apalagi platform besar lebih condong ke konten cepat, visual, bombastis.
Tapi kemudian aku sadar, puisi itu nggak pernah benar-benar mati.
Dia cuma berubah bentuk:
-
Ada yang bikin puisi pendek di Instagram.
-
Ada yang bikin spoken word poetry di TikTok.
-
Ada yang bikin puisi grafis di Pinterest.
Puisi menyesuaikan diri, tapi jiwanya tetap sama:
Menghubungkan rasa manusia satu sama lain.
Dan itu, menurutku, sesuatu yang dunia ini makin butuh, di tengah segala kebisingan dan kecepatan.
Momen Paling Berkesan: Membaca Puisi di Acara Komunitas
Aku mau cerita satu pengalaman yang sampai sekarang masih bikin aku senyum kalau ingat.
Beberapa tahun lalu, aku iseng ikut acara “Open Mic Poetry” di sebuah kafe kecil di Jakarta.
Tempatnya sederhana.
Dekorasi seadanya.
Audiensnya pun nggak banyak — paling 20-30 orang.
Tapi atmosfernya… luar biasa hangat.
Nggak ada yang menertawakan.
Nggak ada yang nge-judge.
Semua orang di sana hadir buat mendengarkan, buat merasakan.
Waktu aku maju ke depan, tangan gemetar.
Suara serak.
Tapi begitu aku baca bait-bait puisi tentang kehilangan ayah, sesuatu berubah.
Di tengah pembacaan, aku lihat beberapa orang mengangguk pelan. Ada yang menghapus air mata.
Dan di situlah aku sadar: puisi itu bisa menyentuh sesuatu yang bahkan kata-kata biasa nggak bisa gapai.
Sejak hari itu, aku berjanji ke diri sendiri:
Aku akan terus menulis puisi, sekecil apapun audience-nya.
Karena kalau ada satu orang saja yang merasa “terdengar” lewat tulisanku, itu sudah cukup.
Kalau kamu pengen nyoba lebih deket sama dunia puisi, ini tips kecil dari aku:
-
Mulai dari membaca.
Baca Chairil Anwar, Sapardi, Pablo Neruda, Rupi Kaur, siapapun yang kamu suka.
Biar hatimu terbiasa dengan irama puisi. -
Tulis tanpa sensor.
Jangan pikirin aturan dulu. Tulis aja apa yang kamu rasain.
Nggak perlu rapi, nggak perlu puitis. -
Bermain dengan metafora.
Bandingkan perasaanmu dengan benda atau pemandangan.
Contoh: “Kesedihanku seperti hujan di tengah malam.” -
Baca puisi keras-keras.
Puisi itu soal irama.
Kadang saat dibaca keras, kita baru ngerasain nadanya. -
Ikut komunitas atau lomba kecil.
Bukan buat menang, tapi buat berani nunjukkin karya kita ke orang lain.
Yang paling penting? Nikmati prosesnya.
Puisi itu soal perjalanan, bukan tujuan.
Puisi Favoritku Sepanjang Masa
Kalau ditanya Hari Puisi Nasional favorit, aku susah jawab satu aja. Tapi kalau harus pilih, mungkin salah satunya adalah:
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.”
— Sapardi Djoko Damono
Puisi ini pendek.
Simpel.
Tapi dalam banget.
Dan setiap kali aku baca, rasanya kayak ditarik kembali ke sesuatu yang murni…
Sesederhana mencintai, dikutip dari laman resmi Wikipedia.
Refleksi di Hari Puisi Nasional: Kata-Kata Masih Berkuasa
Di Hari Puisi Nasional ini, aku sadar:
Dunia boleh berubah, teknologi boleh makin canggih, perhatian kita boleh makin pendek…
Tapi kekuatan kata-kata nggak pernah benar-benar pudar.
Setiap puisi, sekecil apapun, punya potensi:
-
Menyembuhkan luka
-
Menghubungkan jiwa
-
Membuat dunia terasa sedikit lebih hangat
Dan aku merasa bersyukur pernah (dan masih) jadi bagian kecil dari dunia itu.
Penutup: Mari Kita Rayakan Hari Puisi Nasional dengan Hati Terbuka
Hari Puisi Nasional bukan cuma tentang mengenang penyair hebat seperti Chairil Anwar.
Tapi tentang membiarkan diri kita sendiri jadi sedikit lebih peka.
Sedikit lebih berani merasakan.
Nggak perlu jadi penyair profesional untuk menikmati Hari Puisi Nasional.
Kadang, cukup dengan satu bait sederhana, kita bisa mengubah hari seseorang.
Jadi hari ini, yuk, kita kasih ruang buat puisi.
Untuk semua rasa yang tak terucapkan.
Untuk semua luka yang butuh sembuh.
Untuk semua cinta yang ingin ditemukan.
Selamat Hari Puisi Nasional.
Teruslah menulis. Teruslah merasa.
Teruslah hidup dengan kata-kata.
Baca Juga Artikel dari: Olahraga Pagi Sebagai Rutinitas: Dari Berat Bangun
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Informasi