Quiet Quitting: Ketika Karyawan Bekerja Tanpa Semangat Tapi Tak Juga Resign

Quiet Quitting

Jujur aja, pertama kali saya dengar istilah Quiet Quitting, saya sempat mikir, “Oh, ini pasti orang yang resign diam-diam tanpa bilang HR.” Tapi ternyata bukan itu maksudnya. Setelah saya baca dan ngalamin sendiri di kantor beberapa tahun lalu, saya sadar: Quiet Quitting itu lebih ke berhenti “secara mental”, bukan fisik.

Saya pernah punya rekan kerja — sebut aja namanya Rina. Dulu dia semangat banget, selalu datang pagi, suka bantu rekan lain, bahkan rela lembur kalau ada proyek mendadak. Tapi beberapa bulan kemudian, sikapnya berubah. Dia tetap kerja, tapi hanya sebatas tugas pokok. Nggak mau ikut rapat tambahan, nggak mau ambil tanggung jawab ekstra, bahkan jawab chat kerjaan pun sering lama.
Saya pikir dia lagi capek aja. Tapi ternyata itu sudah fase “Quiet Quitting”.

Fenomena ini makin terasa nyata waktu pandemi. Banyak karyawan yang mulai mempertanyakan: “Apakah kerja mati-matian ini sepadan dengan gaji dan waktu yang terbuang?” Saya juga sempat ada di fase itu. Bukan karena benci kerja, tapi karena ngerasa nggak ada keseimbangan hidup Wikipedia.

Apa Itu Quiet Quitting Sebenarnya?

Mengenal "quiet quitting" di dunia kerja dan cara mencegahnya - ANTARA News

Quiet Quitting bukan berarti berhenti kerja, tapi berhenti untuk “berlebihan”.
Artinya, kita tetap kerja sesuai deskripsi pekerjaan, tapi nggak mau lagi kasih energi lebih untuk hal-hal di luar tanggung jawab utama.
Nggak mau lembur tanpa dibayar, nggak mau ikut proyek tambahan kalau nggak jelas manfaatnya, dan nggak mau selalu “stand by” untuk atasan di luar jam kerja.

Banyak yang bilang, Quiet Quitting itu tanda burnout. Tapi saya melihatnya lebih kompleks. Kadang bukan hanya soal lelah fisik, tapi juga lelah emosional dan ekspektasi. Ada perasaan “kok perusahaan nggak menghargai saya?”, “kok kerja keras saya nggak diakui?”, atau “kenapa kerja terus tapi hidup nggak berkembang?”

Fenomena ini banyak terjadi di generasi muda — terutama Gen Z dan milenial. Mereka mulai sadar bahwa hidup bukan cuma soal kerja, tapi juga waktu untuk diri sendiri, keluarga, dan kesehatan mental.
Dan jujur, saya setuju sebagian.

Kenapa Quiet Quitting Terjadi?

Ada beberapa alasan yang bikin seseorang “pelan-pelan mundur” tanpa benar-benar keluar.

1. Burnout (Kelelahan Mental dan Fisik)
Saya sendiri pernah ngalamin burnout. Setiap pagi, rasanya berat banget buka laptop. Dulu saya pikir saya cuma butuh liburan, tapi ternyata masalahnya lebih dalam: saya kehilangan purpose.

2. Kurang Apresiasi dan Komunikasi
Sering nggak sih ngerasa udah kerja keras tapi nggak pernah diapresiasi?
Itu salah satu pemicu utama Quiet Quitting.
Apalagi kalau atasan cenderung cuek atau hanya fokus pada hasil, bukan usaha.

3. Lingkungan Kerja yang Tidak Sehat
Tempat kerja yang toxic, penuh drama, atau persaingan nggak sehat bisa bikin orang kehilangan motivasi. Lama-lama orang jadi “bodo amat”.

4. Kehilangan Makna dalam Pekerjaan
Kadang bukan soal gaji, tapi soal relevansi. Saya pernah ngerasa gitu — kerjaan saya terasa nggak punya dampak nyata.
Akhirnya saya tetap kerja, tapi hati saya nggak ada di sana.

5. Tidak Ada Ruang untuk Berkembang
Kalau seseorang udah lama kerja tapi nggak pernah dikasih kesempatan naik level atau belajar hal baru, wajar banget kalau semangatnya turun.

Pengalaman Pribadi: Saat Saya Hampir Quiet Quitting

Saya masih ingat waktu itu tahun 2019. Saya sudah 6 tahun kerja di perusahaan yang sama. Gaji naik, posisi stabil, tapi entah kenapa saya merasa hampa.
Setiap hari saya datang, duduk, kerja, pulang. Nggak ada excitement lagi.
Saya bahkan sempat berpikir, “Mungkin ini tandanya saya harus resign.”

Tapi setelah ngobrol dengan teman yang juga HR, dia bilang:
“Coba jangan buru-buru resign. Mungkin kamu cuma kehilangan arah.”

Akhirnya saya coba introspeksi. Saya nulis di jurnal: hal-hal yang bikin saya capek, hal-hal yang saya masih suka dari pekerjaan, dan hal-hal yang ingin saya ubah.
Ternyata bukan pekerjaannya yang bikin saya jenuh, tapi ekspektasi saya sendiri.
Saya terlalu sibuk ngejar pengakuan, sampai lupa menikmati proses.

Dari situ saya belajar untuk reframe mindset. Saya mulai membatasi jam kerja, belajar bilang “tidak”, dan fokus pada hal yang bisa saya kontrol.
Perlahan, saya merasa lebih hidup.
Jadi, buat kamu yang mungkin sekarang merasa terjebak di fase Quiet Quitting, saya paham banget rasanya. Tapi percayalah, selalu ada jalan untuk menyeimbangkan hidup dan kerja.

Dampak Quiet Quitting pada Karier dan Tim

The growing trend of 'quiet quitting' - and whether you should worry about  being 'quiet fired' | Science, Climate & Tech News | Sky News

Biarpun niat awalnya buat melindungi diri, Quiet Quitting bisa punya efek domino yang serius.

1. Penurunan Kinerja
Kalau udah nggak punya motivasi, otomatis hasil kerja ikut menurun.
Orang jadi nggak kreatif, nggak inovatif, dan sering asal-asalan.

2. Hubungan dengan Rekan Kerja Jadi Dingin
Karena kita cenderung menutup diri, orang lain bisa salah paham. Mereka pikir kita sombong atau nggak mau kerja sama.

3. Perusahaan Kehilangan Energi Kolektif
Kalau satu orang aja yang quiet quit, mungkin nggak terlalu terasa. Tapi kalau banyak yang begitu?
Wah, bisa-bisa budaya kerja hancur.

4. Risiko Karier Jangka Panjang
Kalau kebiasaan “asal kerja” terus dipelihara, bisa-bisa karier mentok di situ-situ aja.
Atasan pasti bisa lihat siapa yang punya semangat dan siapa yang cuma “numpang lewat”.

Tapi jangan salah, kadang Quiet Quitting juga bisa jadi sinyal positif.
Sinyal bahwa seseorang butuh recharge, atau bahkan perlu pindah arah hidup.

Tanda-Tanda Kamu Sudah Mulai Quiet Quitting

Kalau kamu mulai ngerasa hal-hal berikut ini, mungkin kamu udah setengah jalan ke Quiet Quitting:

  • Kamu ngerjain tugas hanya demi gaji, bukan karena suka.

  • Kamu berhenti peduli sama hasil kerja.

  • Kamu sering merasa bosan dan kehilangan minat.

  • Kamu mulai menarik diri dari rekan kerja.

  • Kamu sering bilang “terserah” dalam rapat.

  • Kamu berhenti ikut kegiatan kantor.

Kalau kamu merasa lebih dari tiga hal di atas, coba ambil waktu refleksi.
Nggak harus langsung resign, tapi mungkin perlu “pause”.

Cara Mengatasi Quiet Quitting (Tanpa Harus Keluar dari Pekerjaan)

Saya tahu nggak semua orang bisa langsung resign. Jadi ini beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi Quiet Quitting dari dalam:

1. Kenali Akar Masalahnya
Apakah karena beban kerja, lingkungan, atau ekspektasi pribadi?
Tuliskan semuanya, biar jelas di kepala.

2. Komunikasi dengan Atasan
Kadang atasan nggak sadar kalau kita lagi lelah.
Coba jujur dengan cara profesional. Katakan kalau kamu butuh waktu, atau ingin arah kerja yang lebih bermakna.

3. Buat Batasan yang Sehat
Belajar bilang “tidak” itu bukan dosa.
Tentukan jam kerja yang jelas, dan jangan bawa pekerjaan ke rumah.

4. Cari Makna Kecil di Pekerjaanmu
Saya pernah bosan banget sampai akhirnya sadar, ada hal kecil yang tetap bisa saya nikmati — misalnya membantu rekan baru beradaptasi, atau melihat proyek selesai dengan baik.
Kadang kebahagiaan datang dari hal kecil.

5. Investasi ke Diri Sendiri
Ikut pelatihan, baca buku, atau belajar skill baru.
Percaya deh, kalau kamu tumbuh, motivasi kerja ikut tumbuh.

6. Cari Komunitas Positif
Teman kerja yang suportif bisa jadi penyemangat besar.
Kalau di kantor nggak ada, cari di luar — bisa lewat forum, grup profesional, atau komunitas online.

Bagaimana Perusahaan Bisa Menghindari Quiet Quitting

Sebagai seseorang yang pernah di posisi middle management, saya juga belajar bahwa Quiet Quitting bukan cuma salah karyawan, tapi juga sistem.

Perusahaan perlu:

  • Memberi feedback dan apresiasi yang rutin.

  • Menciptakan budaya kerja yang terbuka.

  • Tidak menormalisasi lembur terus-menerus.

  • Memberi ruang tumbuh dan kejelasan karier.

  • Menunjukkan empati, bukan hanya target.

Karena, sejujurnya, manusia bukan robot.
Karyawan yang bahagia justru lebih produktif dan loyal.

Refleksi: Quiet Quitting dan Arti Seimbang dalam Hidup

Sekarang saya percaya bahwa Quiet Quitting sebenarnya bukan musuh.
Ia adalah wake-up call — panggilan sadar bahwa ada yang salah dengan cara kita bekerja.

Dulu saya berpikir bahwa kerja keras adalah satu-satunya jalan sukses. Tapi setelah melewati fase nyaris burnout, saya sadar: sukses itu bukan cuma soal karier, tapi juga keseimbangan antara kerja, keluarga, dan kesehatan mental.

Saya pernah baca kutipan bagus:

“Kalau kamu tidak menentukan batasan, orang lain yang akan menentukannya untukmu.”

Dan itu benar banget.
Quiet Quitting bisa jadi awal dari hidup yang lebih sehat — asal kamu tahu cara mengelolanya.

Baca juga fakta seputar : Blog

Baca juga artikel menarik tentang  : Restoran Terbaik: Pengalaman Pribadi Cari Makan Enak & Tips Jitu Anti Zonk!

Author